oleh Nurdin Mikki.
Di balik kepemimpinan Wali Kota Bima, H. A. Rahman H. Abidin, ada sosok perempuan yang tak pernah lelah menebar keteduhan dan penguatan: Hj. Badrah Ekawati akrab disapa Ummi Badra. Bagi sang suami, ia bukan sekadar pendamping, melainkan penopang, penguat, dan teladan yang setia. Bagi masyarakat, ia hadir sebagai ibu, sahabat, dan pemimpin perempuan yang peka terhadap suara rakyat kecil.
Dalam suka maupun duka, Ummi Badra selalu berdiri teguh di sisi suami. Doa yang tak putus, semangat yang menular, serta nasihat yang menyejukkan menjadi energi batin bagi Wali Kota Bima yang akrab disapa Aji Man untuk tetap ikhlas, sabar, dan tidak goyah dalam melayani masyarakat. Ia memahami bahwa seorang pemimpin bukan hanya milik keluarga, tetapi juga milik masyarakat yang dipimpin.
Tekanan dan tantangan adalah bagian tak terpisahkan dari amanah seorang kepala daerah. Di saat-saat itulah, Ummi Badra menjadi sandaran batin bagi Aji Man. Sikapnya yang teduh, ucapannya yang terukur, dan tindakannya yang penuh kehati-hatian ikut menjaga marwah kepemimpinan, sehingga nama baik suami tetap terpelihara di mata publik.
Sebagai ibu rumah tangga, Ummi Badra tak lepas dari peran mendidik keluarga agar senantiasa dekat dengan Allah. Ia menuntun dengan keteladanan, menjaga kehangatan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Nilai-nilai itu meluas ke ruang sosial yang lebih besar membentuk karakter kepemimpinan yang lembut namun tegas, hangat namun berprinsip.
Dalam kapasitasnya sebagai Ketua TP-PKK dan penggerak berbagai organisasi perempuan, Ummi Badra memilih jalan yang sederhana: turun ke tengah masyarakat, menyapa, mendengar, dan membantu. Ia percaya bahwa kepemimpinan yang baik berakar pada kedekatan dengan warga, terutama mereka yang membutuhkan. Dari posyandu hingga kegiatan pemberdayaan ekonomi keluarga, dari edukasi kesehatan hingga penguatan peran perempuan—ia hadir, bukan sekadar memantau, tetapi bekerja bersama.
Meski perjalanan karier suami pernah melalui ragam jabatan politik—dari anggota DPRD, Wakil Wali Kota, hingga Wali Kota Ummi Badra tetap memilih hidup sederhana. Kesederhanaan itu membuatnya dekat, akrab, dan mudah dijangkau masyarakat kecil. Ia pandai menempatkan diri, menjaga ucapan, serta menjauh dari sikap yang berpotensi menimbulkan fitnah dan perpecahan.
Kehadiran Ummi Badra di berbagai kesempatan selalu dirasakan menenteramkan. Kepekaannya terhadap penderitaan rakyat menumbuhkan rasa rindu di tengah masyarakat. Ia bukan hanya menyampaikan empati, tetapi turut mengupayakan solusi: mendorong kolaborasi lintas pihak, memperkuat jaringan relawan, dan menggerakkan gotong royong yang menjadi jati diri masyarakat Bima.
Mereka yang berjumpa dengan Ummi Badra kerap mengingat satu hal: ketulusan. Dalam keseharian, ia tampil apa adanya, lembut dalam tutur, rendah hati dalam sikap. Nilai-nilai itulah yang membuat masyarakat merasakan kasih sayang yang sama, tanpa jarak dan perbedaan. Di mata publik, ia adalah ibu bagi seluruh masyarakat Kota Bima yang hadir bukan untuk dipuja, melainkan untuk melayani.
Hj. Badrah Ekawati adalah cermin dari kepemimpinan yang menyejukkan: sederhana, peka, dan penuh pengabdian. Ia menunjukkan bahwa kekuatan seorang pemimpin tidak hanya ditentukan oleh kebijakan dan panggung resmi, melainkan juga oleh doa di balik layar, kesetiaan yang dirawat, dan cinta yang dibagi kepada sesama. Dari rumah hingga ruang-ruang pengabdian, teladannya mengalir menjadi energi kebajikan bagi keluarga dan inspirasi bagi Kota Bima.